13 May 2017

Cerita Bulan Mei

Posted by Unknown at 11:34


“Sarah, besok tanggal 15 Mei, kamu ada meeting dengan klien, kan?”

Gadis berumur 24 tahun yang sejak tadi fokus dengan laptopnya itu tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya di atas keyboard. “Ah? Aku hampir lupa. Besok itu tanggal 15 Mei ya? Berarti sekarang 14 Mei?”

Lawan bicara Sarah hanya menganggukkan kepalanya. “Ada yang spesial dengan tanggal 14 Mei?”

“Enggak, kok,” sahutnya. “Sudah, sana, aku masih sibuk.”

“Aku kan mau ngajak kamu ke kantin. Udah jam makan siang, kamu gak laper?”

Ah, mengingat tanggal hari ini membuat rasa lapar Sarah hilang seketika. Dia hanya tersenyum kecil, “Lagi gak selera.”

Temannya itu hanya meringis, “Huh, dasar! Badan udah kurus gitu, sok pake acara diet-diet segala.”

Sarah hanya tertawa kecil mendengar ucapan teman sekantornya itu. Kalau boleh jujur, sebenarnya sejak tadi ia sudah kelaparan, tapi begitu mengingat tanggal hari ini, laparnya seketika hilang dan tergantikan dengan rasa mual.

Ingatan kejadian yang terjadi 19 tahun lalu kembali berputar di kepalanya bagai sebuah film hitam putih. Saat itu umurnya baru lima tahun dan ia harus kehilangan kakak yang paling dicintainya saat itu.

Andai saja saat itu ia bisa merengek lebih keras agar kakaknya ikut dengan mereka, tapi sayangnya kakaknya terlalu keras kepala. Kakak perempuannya itu lebih mengutamakan kelompoknya daripada keselamatan dirinya sendiri.

***

“Sarah, ayo bangun, ikut sama Ibu sekarang ya?”

Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum bisa melihat wajah kakaknya dengan jelas. “Emang Sarah sama Ibu mau pergi ke mana?”

Kakaknya tersenyum manis sambil menggendong tubuh Sarah kemudian membawanya ke ruang tamu. “Mau jalan-jalan ke Bali. Sarah suka Bali, kan?”

Anak berumur lima tahun itu seketika bersorak gembira sambil memeluk sang kakak. “Yes, Sarah mau main di Pantai Kuta.”

“Iya, iya, nah sekarang, kamu tunggu supir Bapak sama Ibu ya di sini.”

Sarah dengan cepat turun dari gendongan sang kakak dan duduk di sebelah ibunya. Andai saja saat itu umur Sarah lebih besar beberapa tahun lagi, ia pasti bisa membaca suasana tidak menyenangkan yang ada di ruangan itu. Walau begitu, Sarah masih ingat betul pembicaraan ibu dan kakaknya saat itu.

“Sera, kamu gak sekalian ikut ke Bali dengan Ibu?”

“Sera bakal tetep di Jakarta, Bu. Ada yang harus Sera lakuin di sini. Entar kalau semuanya udah beres, Sera bakal nyusul Ibu ke Bali.”

Ibu dari Sera dan Sarah itu semakin meremas kedua tangannya. “Tapi Ibu lihat di TV, suasana di sana enggak aman. Kamu bisa terluka kalau pergi ke sana. Memang apa untungnya kamu ke sana sebagai aktivis?”

“Ibu, coba lihat Sera,” ucap Sera sambil mendekati sang ibu. “Aku ini pribumi, Bu. Mereka gak akan melukai Sera. Malah seharusnya kita kasihan dengan mereka yang sekarang sedang menjadi pelampiasan massa. Mereka gak salah apa-apa, Bu. Kita harus bisa membantu mereka, paling tidak membawa mereka pergi dari Jakarta.”

“Tapi, ibu tetap khawatir.”

Kembali Sera tersenyum, kali ini dengan memeluk ibunya. “Sera janji akan selamat. Sekarang Sera pergi dulu ya, teman-teman Sera yang lain pasti sudah berkumpul semua. Sebentar lagi, supir Bapak pasti datang.”

Sarah yang sejak tadi kebingungan kemudian bersuara, “Lho? Kakak gak ikut dengan Sarah?”

“Kakak mau pergi nyari Kak Mei dulu, nanti kita sama-sama main di Pantai Kuta ya?”

Sarah kembali berlonjak. “Yei, Sarah juga kangen sama Kak Mei. Sarah punya ejekan baru buat Kak Mei.”

“Apa?” tanya kakaknya jahil.

“Kakak-mata-sipit-pipi-bakpau,” sahut Sarah sambil memicingkan matanya agar serupa dengan mata teman kakaknya itu.

Sera hanya tertawa mendengarnya, “Wah, Kak Mei pasti kesel banget dengernya.”

Diam-diam Ibu Sarah menepuk bahu anak sulungnya itu sambil berbisik. “Semoga Mei dan keluarganya selamat ya.”

Sarah meremas pelan tangan ibunya. “Kemarin Mei telepon Sera, katanya toko mereka dibakar dan sekarang mereka sedang berusaha pergi ke luar negeri. Semoga mereka gak apa-apa, Bu.”

Itu percakapan terakhir yang Sarah ingat. Karena berikutnya ia segera dibawa masuk mobil sopir ayahnya dengan tergesa-gesa. Dalam perjalanan pun, Sarah terus berada di pangkuan ibunya hingga ia tertidur dan tiba-tiba saja dia sudah berada di sebuah hotel di Bali.

***

Sudah hampir sebulan Sarah menetap di Bali dan anak berumur lima tahun itu beberapa kali merengek meminta kakaknya dan ayahnya. Sang ibu berusaha mengalihkan perhatiannya dengan acara kartun di televisi atau mengajaknya bermain petak umpet. Andai saja saat itu, Sarah kecil tahu bahwa ibunya jauh lebih cemas dan khawatir daripada dirinya.

Dan hal yang paling diingat Sarah kala itu adalah saat ayahnya datang menjemput mereka di hotel. Dia ingat bagaimana ibunya segera memeluk sang ayah. “Bapak, gak apa-apa, kan? Ibu takut Bapak kenapa-kenapa.”

“Aku selamat, Bu. Sarah, ayo sini, peluk Bapak.”

Sarah dengan cepat berlari ke arah ayahnya itu. Di belakang Sarah, sang ibu bersuara kembali. “Sera di mana, Pak?”

“Nanti Bapak cerita, biar Sarah tidur dulu.”

Memang benar saat itu sudah jam tidur siang Sarah, anak itu segera tertidur setelah mendengar cerita dongeng dari ayahnya. Tapi, hari itu tidur Sarah tidak nyenyak karena ia terbangun setelah mendengar tangisan ibunya. Diam-diam Sarah mencuri dengar pembicaraan orang tuanya itu, walau ia tidak mengerti mereka membicarakan apa pada saat itu.

“Dari data, ada 85 korban, Bu. Sebagian besar perempuan. Mereka disiksa, dibunuh, bahkan sampai ada yang diperkosa beramai-ramai sebelum akhirnya dibunuh.”

Istrinya tetap terdiam mendengar cerita sang suami.

“Bapak pikir Sera dan teman-temannya ada di dekat situ. Karena mereka aktivis relawan kemanusiaan, tapi gak ada, Bu.”

“Terus Sera kita di mana, Pak?”

“Ibu yang sabar ya, Sera kita gak selamat, Bu. Dia juga menjadi korban.”

Ibu Sera mengernyitkan dahinya. “Maksud Bapak apa? Dia kan pribumi, kenapa bisa menjadi korban?”

“Ada jenazahnya di sana, teman-teman sesama aktivisnya juga sama, Bu. Bapak benar-benar gak habis pikir sama kelakuan para perusuh di sana.”

Mendengar hal itu, sang Ibu hanya bisa menangis dalam pelukan suaminya. Mereka tidak tahu kalau putri bungsunya mendengar pembicaraan mereka dan menangis dalam diam.
.
.
.
.
.

Fin

4 comments:

Unknown said...

Ciee...critane..lanjutkan berkarya ariss, nnti aq link k blog ku ya..

Unknown said...

Ciee makasih udah mampir wkwk
Blog mu apa emangnya?

Unknown said...

Adiyana038.wordpress.com
Tp blm smpet update ris.hehe..

Unknown said...

Kapan-kapan aku mampir dah ke sana πŸ˜‰πŸ˜‰

Post a Comment

 

My Rosemary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review