Sejak tadi, gadis itu hanya
termenung sambil meratapi sang surya yang mulai menghilang dari cakrawala.
Cahaya merah keemasan menyinari wajahnya yang berkulit pucat. Walau begitu, dia
tetap bertahan di posisinya.
"Hei, Gadis Kecil, sejak
tadi aku perhatikan kau melamun terus. Sedang memikirkan apa?"
Muncul kerutan di dahi sang gadis
saat melihat ada seorang laki-laki gelandangan yang menyapanya. Baju
gelandangan yang compang camping dan penuh lumpur itu membuatnya sedikit risih.
Melihat si gadis yang
sepertinya tidak akan menjawab pertanyaannya, laki-laki itu tersenyum kecil,
"Kau sedang memikirkan hidupmu?" tebaknya.
Sang surya sudah sepenuhnya
tenggelam saat si gadis akhirnya menoleh ke arah laki-laki gelandangan.
"Kenapa Paman menggangguku, hah?" hardiknya. Ia kembali menatap
depan, "Paman tidak tahu apa-apa tentangku. Jadi enyahlah dari sini!"
tambahnya dengan nada suara yang naik satu oktaf.
Orang-orang sudah tidak ada
yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Yang ada hanya si gadis kecil dan lelaki
gelandangan ditemani langit yang mulai menghitam. "Tidak baik berbuat
curang, Gadis Kecil."
Si gadis menggigit bibir
bawahnya sambil berusaha menahan amarahnya saat mendengar kata-kata 'sok bijak'
dari si gelandangan. "Aku ... aku ingin merobek selembar halaman buku,
tapi ... tidak bisa. Kau dengar itu, Paman?! TIDAK BISA!"
"Jadi kau memilih untuk
membakar buku itu?"
Kedua tangan sang gadis
terkepal. "Itu jauh lebih mudah," bisiknya.
"Tapi, Nak, itu namanya
curang. Kau berusaha memindahkan rasa sakitmu kepada orang-orang
terdekatmu."
Si gadis mendecih saat ia
sadar kalau yang dikatakan oleh laki-laki itu benar. "Aku tidak peduli!
Yang terpenting aku tidak merasakan sakit lagi."
"Tidak baik bermain
cura-"
"Iya, iya, aku tahu, aku
bermain curang!" bentak si gadis sambil memotong ucapan lawan bicaranya.
"Memangnya aku tidak boleh bermain curang?! Dunia ini sering berbuat
curang padaku! Kau dengar itu, Paman?! Sekarang lebih baik kau pergi dari
sini!"
Sang gelandangan menghela
napas. "Kau tidak berpikir jernih, Nak. Coba kau lihat diriku ini. Hidup
juga selalu mencurangiku tapi aku mencoba untuk selalu berbuat adil. Aku
mensyuku-"
"AAHHH! Cukup! Cukup!
Aku tidak mau dengar lagi! Sekarang Paman pergi saja!" teriaknya sambil
menutupi kedua telinganya.
Laki-laki setengah baya itu
hanya bisa menghela napas. "Padahal kau itu masih muda, Nak,"
gumamnya kemudian pergi.
Setelah melihat sang penggangu
pergi, si gadis kecil kembali menatap depan. Dengan perlahan, ia menaikkan
kakinya ke pembatas jembatan kemudian berdiri di atasnya. Angin malam berhembus
pelan dan menerpa wajahnya. Matanya berkaca-kaca saat melihat aliran air di
bawahnya.
"Lihat ini, Tuhan! Aku
tidak akan membiarkan-Mu memecatku. Aku sendirilah yang memilih untuk
keluar!" teriaknya sebelum tubuhnya menghantam air.
BYUR!
.
.
.
-Fin-
0 comments:
Post a Comment