8 May 2017

Hei Kak, Apa Kau Bahagia Sekarang?

Posted by Unknown at 14:48

Suara alarm ponselnya memaksa Laras untuk membuka matanya. Padahal ia baru saja tidur sekitar tiga jam yang lalu. Ya, salahkan tugas-tugasnya yang menumpuk itu. Dia pikir mahasiswa baru seperti dirinya akan diberi keringanan, tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi jurusan psikologi. Ia jadi teringat saat kakaknya menjadi mahasiswa baru, kakaknya itu bahkan terlihat sangat santai seperti pengangguran tapi IP-nya selalu di atas 3,5.

Ya ampun, dia lupa kalau kakaknya itu bisa dibilang jenius sedangkan dia hanya manusia yang berada pada garis rata-rata. Sudah, lupakan saja tugas-tugasnya yang menumpuk itu. Ada perut yang sudah meronta minta diisi.

"Ras, kamu lihat pisau buah Mama?" suara ibunya menyapa Laras saat ia sampai di dapur.

"Hah?" balas Laras sambil menuang jus jeruk ke gelasnya. "Ma, Laras baru pulang kemarin sore dari kos, banyak tugas dari kampus. Coba tanya ke kakak, dia kan di rumah terus."

Sang ibu hanya menghela napas sambil memperhatikan masakannya di atas penggorengan.

"Ini orangnya, Ma," ucap Laras saat melihat kakaknya masuk ke dapur. Mata Laras memperhatikan kakaknya yang sedang membuka lemari pendingin. Mata sayu, rambut acak-acakan, baju lengan panjang, celana panjang ditambah aura menyeramkan. "Kak, lihat pisau buah? Mama yang tanya."

Sang kakak hanya menatap si adik sambil memicingkan matanya sebagai jawaban. Oke, sepertinya suasana hati kakaknya sedang buruk. Sebaiknya jangan diganggu. "Enggak lihat," sahut kakaknya akhirnya dengan suara ketus.

"Kakakmu kayaknya lagi banyak pikiran. Dia ada cerita ke kamu, Ras?"

"Enggak ada, Ma. Palingan cuma masalah mahasiswa semester tua. Skripsi, skripsi."

Berbeda dengan kakaknya yang tinggal di rumah, Laras lebih memilih untuk menyewa sebuah rumah dengan teman-teman kuliahnya. Jadi, dia hanya di rumah saat hari Sabtu dan Minggu. Karena itu, interaksi dirinya dengan sang kakak banyak berkurang.

***

Akhirnya Laras sampai di rumah setelah berkendara hampir satu jam dari kos-nya. Begitu sampai di kamarnya, ia mendapati kakaknya di atas tempat tidurnya. "Aduh, kakak kenapa di sini? Laras mau istirahat, nanti malam mau buat tugas. Kakak pergi ke kamar sana," hardik Laras sambil meletakkan ransel dan tas berisi baju-bajunya. Hari Jumat sore adalah hari di mana dia bisa pulang ke rumah.

"Hmm ...," gumam kakaknya tidak jelas sambil berguling-guling di atas tempat tidur Laras.

Laras bertolak pinggang sambil memperhatikan tingkah kakaknya. Setelah menunggu selama satu menit, akhirnya sang kakak berdiri. Masih dengan rambut yang acak-acakan, jaket berwarna abu-abu ditambah kantung mata yang hitam.

"Kakak belum tidur?" tanya Laras. Ah, itu pertanyaan retoris. Kadang-kadang, ia jadi penasaran sebanyak apa tugas yang dimiliki mahasiswa teknik seperti kakaknya. Padahal awal-awal kuliah, kakaknya terlihat sangat santai. Ya, hanya kakaknya saja yang tahu.

Bukannya menjawab pertanyaan Laras, sang kakak hanya pergi sambil menghela napas. Dasar!

Saat jam menunjukkan pukul sembilan malam, Laras mulai mengerjakan tugasnya. Membuat sebuah laporan mengenai salah satu penyakit kejiwaan. Dan sekarang dirinya sedang terdiam karena bingung bagaimana cara membuat daftar isi otomatis dari tugasnya. Ah, kakaknya pasti tahu.

Sambil membawa laptopnya, ia pergi ke kamarnya kakaknya. "Eh? Dikunci?" Laras memiringkan kepalanya heran. "Kak, bisa minta tolong?"

Tak kurang dari semenit, sang kakak keluar dari kamarnya kemudian mengunci pintu kamarnya kembali. "Kenapa?"

Kemudian Laras menjelaskan masalahnya selama lima menit dan sang kakak menyelesaikannya hanya dalam waktu tiga menit. Ya, kakaknya memang jenius. Terserah bagaimana orang lain memandang kakaknya, tapi bagi Laras, kakaknya adalah orang paling jenius di dunia dan panutan hidupnya.

***

Hari Kamis adalah hari yang paling melelahkan bagi Laras. Kuliah dari pagi sampai sore. Terima kasih kepada pegawai TU yang sudah membuat jadwal kuliahnya seperti di Neraka. Tinggal satu mata kuliah dan dia bisa tidur di atas kasur empuknya.

Baru saja ia akan masuk ke kelas, ponselnya bergetar. Ah, ayahnya menelepon.

"Ya, kenapa, Pa?"

Cukup lama ayahnya terdiam sebelum menjawab pertanyaan Laras. Suara ayahnya terdengar serak seperti orang yang sedang sakit. "Papa sakit?"

Akhirnya setelah berbasa-basi, ayahnya menjelaskan sesuatu padanya. Sesuatu yang membuat mata Laras membesar dengan air mata yang ingin tumpah saat itu juga. Jantungnya berdetak kencang mendengar semua penjelasan ayahnya. Ah, ini tidak mungkin! Kakaknya tidak mungkin berbuat seperti itu!

***

Langkah kaki Laras menggema di lorong rumah sakit. Ia berhenti di depan sebuah ruangan yang bertuliskan kamar mayat. Tidak ada ayah dan ibunya di sana. Yang ada hanya pamannya yang kebetulan adalah seorang dokter forensik. "Kamu sudah datang, Ras."

"Paman, kakakku di mana?" Suara Laras bergetar. Laras pikir awalnya ia tidak akan menangis lagi karena sepanjang perjalanan ia sudah menangis terus. Tapi saat matanya melihat tubuh sang kakak, air matanya kembali tumpah. "Kak? Kak?"

Kakaknya sudah pergi meninggalkannya selama-lamanya.

"Kakakmu hilang sejak hari Selasa, Ras. Tadi pagi, ada yang menemukan tubuhnya di sungai dalam keadaan meninggal," terang Pamannya.

Laras tidak tahan melihat tubuh kakaknya yang membiru dan penuh sayatan itu. Dengan langkah gontai, Laras keluar dari ruangan itu dan pergi ke taman rumah sakit. Dia hanya berdiri diam sambil menatap langit.

Ah, kakaknya yang malang. Sebenarnya masalah apa yang dimilikinya sampai ia berani mengambil jalan pintas seperti ini? Semua perilaku aneh kakaknya akhir-akhir ini membuat Laras tertegun.

Laras sangat menyukai psikologis manusia karena itu ia mengambil kuliah di jurusan yang mempelajari seluk beluk kejiwaan manusia itu. Tapi, dia gagal menyadari perilaku aneh kakaknya. Kakaknya benci dengan baju lengan panjang, tapi kenapa akhir-akhir ini dia selalu memakai jaket? Dan kakaknya tidak pernah mengunci kamarnya.

Laras tersenyum kecut saat ia sadar apa yang disembunyikan kakaknya di dalam kamarnya. Ya, pisau buah milik ibunya. Memangnya apa lagi yang kakaknya sembunyikan di balik jaketnya selain luka sayatan di kedua lengannya itu?

'Self-harm.'

Mungkin luka-luka itu tidak bisa mengalihkan luka jiwa kakaknya sehingga ia lebih memilih pergi dari dunia fana ini. Kembali air mata jatuh dari matanya. Kenapa ia bisa tidak menyadarinya selama ini?


"Kak, apa Kakak bahagia sekarang? Terserah apa yang dikatakan orang lain terhadapmu. Bagiku, Kakak akan selalu menjadi panutanku dan kakak terhebat yang pernah kumiliki," bisiknya di sela tangisnya.
.
.
.
.
.
Fin

0 comments:

Post a Comment

 

My Rosemary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review