Suara alarm ponselnya memaksa
Laras untuk membuka matanya. Padahal ia baru saja tidur sekitar tiga jam yang
lalu. Ya, salahkan tugas-tugasnya yang menumpuk itu. Dia pikir mahasiswa baru
seperti dirinya akan diberi keringanan, tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi
jurusan psikologi. Ia jadi teringat saat kakaknya menjadi mahasiswa baru, kakaknya
itu bahkan terlihat sangat santai seperti pengangguran tapi IP-nya selalu di
atas 3,5.
Ya ampun, dia lupa kalau
kakaknya itu bisa dibilang jenius sedangkan dia hanya manusia yang berada pada
garis rata-rata. Sudah, lupakan saja tugas-tugasnya yang menumpuk itu. Ada
perut yang sudah meronta minta diisi.
"Ras, kamu lihat pisau
buah Mama?" suara ibunya menyapa Laras saat ia sampai di dapur.
"Hah?" balas Laras
sambil menuang jus jeruk ke gelasnya. "Ma, Laras baru pulang kemarin sore
dari kos, banyak tugas dari kampus. Coba tanya ke kakak, dia kan di rumah
terus."
Sang ibu hanya menghela napas
sambil memperhatikan masakannya di atas penggorengan.
"Ini orangnya, Ma,"
ucap Laras saat melihat kakaknya masuk ke dapur. Mata Laras memperhatikan
kakaknya yang sedang membuka lemari pendingin. Mata sayu, rambut acak-acakan,
baju lengan panjang, celana panjang ditambah aura menyeramkan. "Kak, lihat
pisau buah? Mama yang tanya."
Sang kakak hanya menatap si
adik sambil memicingkan matanya sebagai jawaban. Oke, sepertinya suasana hati
kakaknya sedang buruk. Sebaiknya jangan diganggu. "Enggak lihat,"
sahut kakaknya akhirnya dengan suara ketus.
"Kakakmu kayaknya lagi
banyak pikiran. Dia ada cerita ke kamu, Ras?"
"Enggak ada, Ma.
Palingan cuma masalah mahasiswa semester tua. Skripsi, skripsi."
Berbeda dengan kakaknya yang
tinggal di rumah, Laras lebih memilih untuk menyewa sebuah rumah dengan
teman-teman kuliahnya. Jadi, dia hanya di rumah saat hari Sabtu dan Minggu.
Karena itu, interaksi dirinya dengan sang kakak banyak berkurang.
***
Akhirnya Laras sampai di
rumah setelah berkendara hampir satu jam dari kos-nya. Begitu sampai di
kamarnya, ia mendapati kakaknya di atas tempat tidurnya. "Aduh, kakak
kenapa di sini? Laras mau istirahat, nanti malam mau buat tugas. Kakak pergi ke
kamar sana," hardik Laras sambil meletakkan ransel dan tas berisi
baju-bajunya. Hari Jumat sore adalah hari di mana dia bisa pulang ke rumah.
"Hmm ...," gumam
kakaknya tidak jelas sambil berguling-guling di atas tempat tidur Laras.
Laras bertolak pinggang
sambil memperhatikan tingkah kakaknya. Setelah menunggu selama satu menit,
akhirnya sang kakak berdiri. Masih dengan rambut yang acak-acakan, jaket
berwarna abu-abu ditambah kantung mata yang hitam.
"Kakak belum
tidur?" tanya Laras. Ah, itu pertanyaan retoris. Kadang-kadang, ia jadi
penasaran sebanyak apa tugas yang dimiliki mahasiswa teknik seperti kakaknya.
Padahal awal-awal kuliah, kakaknya terlihat sangat santai. Ya, hanya kakaknya
saja yang tahu.
Bukannya menjawab pertanyaan
Laras, sang kakak hanya pergi sambil menghela napas. Dasar!
Saat jam menunjukkan pukul
sembilan malam, Laras mulai mengerjakan tugasnya. Membuat sebuah laporan
mengenai salah satu penyakit kejiwaan. Dan sekarang dirinya sedang terdiam
karena bingung bagaimana cara membuat daftar isi otomatis dari tugasnya. Ah,
kakaknya pasti tahu.
Sambil membawa laptopnya, ia
pergi ke kamarnya kakaknya. "Eh? Dikunci?" Laras memiringkan
kepalanya heran. "Kak, bisa minta tolong?"
Tak kurang dari semenit, sang
kakak keluar dari kamarnya kemudian mengunci pintu kamarnya kembali.
"Kenapa?"
Kemudian Laras menjelaskan
masalahnya selama lima menit dan sang kakak menyelesaikannya hanya dalam waktu
tiga menit. Ya, kakaknya memang jenius. Terserah bagaimana orang lain memandang
kakaknya, tapi bagi Laras, kakaknya adalah orang paling jenius di dunia dan
panutan hidupnya.
***
Hari Kamis adalah hari yang
paling melelahkan bagi Laras. Kuliah dari pagi sampai sore. Terima kasih kepada
pegawai TU yang sudah membuat jadwal kuliahnya seperti di Neraka. Tinggal satu
mata kuliah dan dia bisa tidur di atas kasur empuknya.
Baru saja ia akan masuk ke
kelas, ponselnya bergetar. Ah, ayahnya menelepon.
"Ya, kenapa, Pa?"
Cukup lama ayahnya terdiam
sebelum menjawab pertanyaan Laras. Suara ayahnya terdengar serak seperti orang
yang sedang sakit. "Papa sakit?"
Akhirnya setelah
berbasa-basi, ayahnya menjelaskan sesuatu padanya. Sesuatu yang membuat mata
Laras membesar dengan air mata yang ingin tumpah saat itu juga. Jantungnya
berdetak kencang mendengar semua penjelasan ayahnya. Ah, ini tidak mungkin!
Kakaknya tidak mungkin berbuat seperti itu!
***
Langkah kaki Laras menggema
di lorong rumah sakit. Ia berhenti di depan sebuah ruangan yang bertuliskan
kamar mayat. Tidak ada ayah dan ibunya di sana. Yang ada hanya pamannya yang
kebetulan adalah seorang dokter forensik. "Kamu sudah datang, Ras."
"Paman, kakakku di
mana?" Suara Laras bergetar. Laras pikir awalnya ia tidak akan menangis
lagi karena sepanjang perjalanan ia sudah menangis terus. Tapi saat matanya
melihat tubuh sang kakak, air matanya kembali tumpah. "Kak? Kak?"
Kakaknya sudah pergi
meninggalkannya selama-lamanya.
"Kakakmu hilang sejak
hari Selasa, Ras. Tadi pagi, ada yang menemukan tubuhnya di sungai dalam
keadaan meninggal," terang Pamannya.
Laras tidak tahan melihat
tubuh kakaknya yang membiru dan penuh sayatan itu. Dengan langkah gontai, Laras
keluar dari ruangan itu dan pergi ke taman rumah sakit. Dia hanya berdiri diam
sambil menatap langit.
Ah, kakaknya yang malang.
Sebenarnya masalah apa yang dimilikinya sampai ia berani mengambil jalan pintas
seperti ini? Semua perilaku aneh kakaknya akhir-akhir ini membuat Laras
tertegun.
Laras sangat menyukai
psikologis manusia karena itu ia mengambil kuliah di jurusan yang mempelajari
seluk beluk kejiwaan manusia itu. Tapi, dia gagal menyadari perilaku aneh
kakaknya. Kakaknya benci dengan baju lengan panjang, tapi kenapa akhir-akhir
ini dia selalu memakai jaket? Dan kakaknya tidak pernah mengunci kamarnya.
Laras tersenyum kecut saat ia
sadar apa yang disembunyikan kakaknya di dalam kamarnya. Ya, pisau buah milik
ibunya. Memangnya apa lagi yang kakaknya sembunyikan di balik jaketnya selain
luka sayatan di kedua lengannya itu?
'Self-harm.'
Mungkin luka-luka itu tidak
bisa mengalihkan luka jiwa kakaknya sehingga ia lebih memilih pergi dari dunia
fana ini. Kembali air mata jatuh dari matanya. Kenapa ia bisa tidak
menyadarinya selama ini?
"Kak,
apa Kakak bahagia sekarang? Terserah apa yang dikatakan orang lain terhadapmu.
Bagiku, Kakak akan selalu menjadi panutanku dan kakak terhebat yang pernah
kumiliki," bisiknya di sela tangisnya.
.
.
.
.
.
Fin
0 comments:
Post a Comment