17 Jan 2018

Sinopsis Natsume Yuujinchou Chapter 88

Posted by Unknown at 00:13



Pengarang: Midorikawa Yuki
Majalah: Lala
Penerbit: Hakusensha
Bulan Terbit: Mei 2017


‘Aku melihat bunga yang sangat indah ...’

Aku terkadang terpengaruhi oleh perasaan makhluk lain di sekitarku. Saat itu, mereka tidak perlu khawatir mengenai apapun. Tapi, saat itu ... saat itu ...

***
“Aku pergi dulu,” ucap Natsume saat meninggalkan rumah diikuti dengan Nyanko-sensei.

“Jadi ada setan raksasa di Shihoudani?” tanya Nyanko-sensei.

“Aa ... Chukyuu yang mengatakannya,” sahut Natsume.




“Dia selalu bersembunyi di dalam hutan. Akhir-akhir ini, sepertinya yokai kuat sepertinya sering menampakkan diri. Itu karena nama mereka ada di dalam Yuujinchou dan mereka mendengar rumor tentangku,” jelas Natsume sambil terus berjalan. “Kalau mereka memang menginginkan nama mereka kembali, seharusnya mereka keluar dari persembunyiannya.”

Nyanko-sensei yang berjalan di depan Natsume membalas, “Lalu kenapa kau susah-susah ke sini untuk mengembalikannya? Konyol sekali!”

“Kita juga sama saja. Kita bahkan tidak pernah melewati jalan ini. Mungkin saja ada toko jajanan manis di sekitar sini,” ucap Natsume.

“Sebaiknya kau jangan pernah berpikir kalau aku akan selalu menerima penjelasan tidak jelas seperti itu terus menerus,” balas Nyanko-sensei kesal.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, terdapat sebuah sungai. Mata Natsume tanpa sengaja melihat ikan yang berenang di sana. “Ah, salmon.”

Ucapan Natsume menarik perhatian Nyanko-sensei. “Huh? Di mana?”

Karena kekesalan Nyanko-sensei sudah menghilang, Natsume kembali berbicara. “Aku ingin tahu apa Reiko-san juga pernah datang ke tempat ini. Karena aku memiliki kesempatan seperti ini, aku ingin mengembalikan nama ayakashi yang ada di sini sebanyak yang aku bisa.”

Tiba-tiba saja terdengar suara berisik dari arah belakang Natsume. “Di tempat ini, hanya namaku satu-satunya yang tertulis di sana.”




Natsume dan Nyanko-sensei segera menoleh ke arah belakang dan mendapati satu yokai yang berdiam diri di atas dahan pohon. Beberapa saat kemudian, yokai itu turun dan menghampiri Natsume.

“Kau pasti cucunya Reiko, kan?” tanya yokai tersebut. “Maukah kau mengembalikan namaku?”

“Iya,” sahut Natsume sedikit takut. Natsume kemudian mengeluarkan Yuujinchou dari dalam tasnya. “Aku akan mencari namamu di Yuujinchou sekarang.”

Saat Natsume akan mengucapkan mantra, yokai itu kembali berbicara. “Kau tidak perlu mencarinya. Aku tahu namaku berada di halaman berapa.”

“Eh?”

“Halaman pertama,” ucap yokai tersebut yang seketika membuat Natsume sedikit kaget.

“Halaman pertama?” ulang Natsume.

‘Jadi itu artinya ... dia adalah ayakashi pertama yang namanya diambil oleh Reiko-san.’

“Aku akan mengembalikan namamu,” ucap Natsume pasti. “Tapi bolehkah aku menanyakan sesuatu? Tentang Natsume Reiko-san?” tambah Natsume.

‘Aku ingin tahu yokai ini jenis yang mana ... jenis yang dikalahkan Reiko-san dan namanya diambil paksa ... atau yang lain?’

Yokai itu memandang Natsume sejenak. “Baiklah, lagipula aku juga sedang bosan. Memang hanya sebentar tapi aku akan menceritakan saat Reiko pertama kali datang ke hutan ini.”

Yokai itu kemudian mendekati Natsume dan menunjuknya. “Apa yang akan aku lakukan jika dia adalah yokai jahat?” Sekarang yokai itu menunjuk Nyanko-sensei. “Ah, benar-benar menyusahkan.”

Perkataan yokai itu membuat Natsume dan Nyanko-sensei terheran-heran. Rasanya yokai ini mampu membaca isi pikiran mereka.

“Walau hanya sebentar, terkadang aku bisa membaca perasaan dari lawan bicaraku. Haruskah aku mengatakan kapan aku pertama kali bisa melakukannya?” tanya yokai itu.

“Aku tidak tahu, tapi aku merasa kalau semua itu terlalu menyusahkan untuk dihadapi,” sahut Nyanko-sensei kesal.

“Itu memang menyusahkan, karena itulah aku memilih berdiam diri di dalam hutan,” balas yokai tersebut. “Itu semua terjadi saat manusia ... saat Natsume Reiko datang kemari.”

Akhirnya dimulailah cerita yokai itu mengenai Reiko yang dulu pernah datang ke hutan itu.

***

“Hei, apa kau pernah mendengarnya? Akhir-akhir ini ada manusia yang berkeliaran di hutan ini,” ucap seorang yokai pada temannya. “Tuan besar di gua itu pernah mengolok-ngoloknya dan mengganggunya. Tapi dia hanya menari menjauh seperti kupu-kupu sehingga lawannya tidak pernah bisa menangkapnya.”

“Bagi Tuan Besar yang sangat kuat, manusia itu pasti terlihat seperti manusia sombong. Yahh ... kalau kita melihatnya sekilas, haruskah kita mengganggunya?” ucap yokai yang lain.




Tak jauh dari kedua yokai tersebut, ada yokai lain yang sejak tadi berdiam diri di dahan pohon sambil mendengarkan pembicaraan mereka. “Hei, kalian yang di sana. Sejak tadi kalian terus saja ribut,” ucapnya. “Kalau kau terus berbicara, aku akan memakanmu,” ancamnya sambil menjulurkan lidahnya sehingga membuat kedua yokai itu ketakutan.

“Eeh? Ahh! Tolong kami!!” teriak kedua yokai itu kemudian lari menjauh.

‘Aku suka tinggal di tempat yang sepi, jadi aku akan mengusir ayakashi yang berada dekat dengan daerahku. Waktu berlalu begitu saja ... rasanya tenang dan menyenangkan.’

Suatu hari yokai itu pergi berjalan dan meninggalkan rumahnya. Merasa sudah terlalu lama berjalan, akhirnya ia memilih kembali. “Ini waktunya aku kembali ke rumah untuk beristirahat.”

‘Itulah saat ...’




Yokai itu berhenti dan menatap seseorang yang sedang tertidur di dekat pohonnya.

Karena merasa diperhatikan akhirnya Reiko terbangun. “Hmm ...,” gumamnya. “Padahal akhirnya aku menemukan tempat yang nyaman untuk tidur ... apa tempat ini adalah milikmu?”

“Ya,” sahut yokai tersebut.

“Maaf, kalau begitu aku tidak akan datang lagi ke dekat pohon ini,” ucap Reiko segera bangkit. “Selamat tinggal.” Reiko segera pergi sambil melambaikan tangan.

Sedangkan yokai itu hanya bisa menatap heran Reiko. “Ah? Eh?” Matanya masih terus memperhatikan Reiko yang berlari pergi. ‘Apa dia itu manusia? Dia bertingkah seperti seekor kucing.’

‘Setelah itu, aku terkadang melihat manusia itu di sekitar hutan. Dia bisa dengan mudah menghindari ayakashi yang datang untuk mengejeknya. Dan dia selalu sendiri ... sama sepertiku.’




‘Sendirian itu memang nyaman ... manusia itu pasti memahami hal itu.’

Beberapa hari kemudian, yokai itu kemudian mendengar pembicaraan dua yokai kecil dari balik semak-semak.

“Hei, aku dengar ada manusia yang datang ke Ishizuka barat,” ucap salah satu yokai.

“Lagi? Ya sudah ayo kita lihat,” ajak yokai yang lain.

Yokai besar yang mendengarkan pembicaraan itu hanya terdiam. ‘Ishizuka barat? Haruskah aku pergi dan melihatnya?’ tanyanya pada dirinya sendiri.

Pada akhirnya yokai besar itu pergi dan mengikuti dua yokai kecil tadi. Dari semak-semak, mereka dapat melihat manusia yang sedang duduk di tangga batu sambil membaca buku.




‘Huh? Itu bukan manusia yang biasanya,’ pikir yokai besar itu.

“Hei, apa dia yang selalu digosipkan itu?” tanya yokai kecil pada temannya.

Temannya kelihatan berpikir. “Tidak, aku yakin kalau dia itu lebih ...”

Ucapan yokai itu terhenti karena ada manusia lain yang datang ke arah manusia yang sedang membaca itu. “Hei, kau!” panggilnya. “Aku merasa kalau di sekitar sini sangat ribut, karena itu aku kesini. Apa yang kau lakukan di hutan ini?” tanya manusia yang tak lain adalah Reiko.

Perempuan di hadapan Reiko itu sedikit kaget. “Etto ... maafkan aku. Aku hanya sedang membaca, aku tidak bermaksud membuat keributan hmm ....”

“Tidak, bukan kau yang membuat keributan,” balas Reiko. “Aku juga minta maaf. Tapi kau seharusnya tidak berkeliaran sendirian di hutan ini. Bangun dan cepatlah pulang,” tambah Reiko. “Selamat tinggal.” Reiko kemudian berbalik pergi.

“A-ah ... tu-tunggu!” ucap gadis itu sambil menarik lengan Reiko.

“Apa? Apa kau tidak tahu jalan pulang?” tanya Reiko menoleh.

“Tidak ... tapi ... jika kau mau, bisakah kita bicara sebentar?” tanya gadis itu. “Aku baru saja pindah di sekitar sini, aku tidak punya siapapun untuk diajak berbicara.”

Reiko tersenyum menatap gadis itu. “Tidak bisa, sekarang pulanglah,” ucapnya kemudian pergi.

“Ah iya, maaf,” balas gadis itu sambil berusaha tersenyum sambil melihat Reiko yang berjalan pergi. Tiba-tiba saja ia melihat ke bawah dan menyadari ada sesuatu di atas rumput yang ia pijak. Gadis itu kemudian mengambil benda itu. Semua kejadian ini terus disaksikan oleh yokai besar putih dari balik semak-semak.

***




“Benar-benar tidak bisa didekati,” komentar Nyanko-sensei di tengah-tengah cerita.

“Aku juga bepikir seperti itu,” tanggap yokai besar itu. “Tapi manusia yang lagi satu itu datang kembali keesokannya,” ucapnya sembari melanjutkan ceritanya.

***

“Hei, kau!” panggil Reiko sambil berkacak pinggang. “Aku pikir mereka sedang membuat kehebohan. Kenapa kau kembali lagi?”

Gadis itu sedikit terkejut dan membalik badannya menghadap Reiko. “Ah bagus, kau di sini,” ucapnya. “Maaf, tapi aku ingin memberikan ini padamu,” tambah gadis itu sambil menyerahkan sesuatu yang ia pungut kemarin.

“Lambang sekolah?” ucap Reiko saat melihatnya. Ia kemudian menarik kerah seragamnya dan melihat kalau lambang sekolahnya tidak ada. “Ternyata kau orang yang baik. Kau sengaja datang kemari padahal itu belum tentu milikku. Tapi terima kasih banyak, kau sangat membantu.”

Setelah Reiko menerima lambang sekolahnya, ia segera pergi. “Sampai jumpa.”

“Ah iya, sampai jumpa,” balas gadis itu.

‘Kemudian mereka berpisah dan keesokan harinya ...’

Yokai besar berbulu putih itu mendatangi Reiko yang sedang duduk sendiri di atas bukit. “Hei, orang itu datang lagi ke sini,” ucapnya pada Reiko.

Reiko membalik badannya saat mendengar suara dari belakangnya. Saat ia membalik tubuhnya, yokai itu segera bersembunyi di balik semak-semak. ‘Apa yang sudah aku lakukan?’ pikirnya.

Sedangkan Reiko terdiam sejenak sembari berpikir. Akhirnya ia pergi ke tangga batu itu lagi dan mendapati gadis itu sedang membaca buku dengan beberapa yokai kecil yang berada di sekitarnya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Reiko.

Gadis itu menoleh. “Ah, maaf. Aku masih belum terbiasa dengan rumah baruku. Sebelum ada orang yang pulang, aku ingin menghabiskan waktu di sini,” ucap gadis itu. “Aku belum terlalu dikenal dengan anak-anak di sekolahku sekarang. Jadi aku mencari tempat di mana aku bisa menghabiskan waktu satu jam atau lebih tanpa harus bertemu siapapun. Di sini tempat yang bagus dan cerah ... jadi ... maafkan aku.”

Reiko menatap gadis itu sebentar. “Kau tidak perlu meminta maaf. Ini bukan hutanku. Sebenarnya aku lebih seperti pengganggu di hutan ini,” ucapnya kemudian duduk di sebelah gadis itu.

“Eh?”




“Aku juga sangat menyukai hutan ini. Satu jam? Aku akan tidur siang di sini, maukah kau membangunkanku ketika kau pergi?” tanya Reiko. “Oyasumi.”

Gadis itu tersenyum. “Terima kasih,” ucapnya.

Dari balik semak-semak, yokai besar itu kembali memperhatikan tingkah dua manusia itu.

‘Aku menjadi tertarik dengan dua orang manusia itu. Jadi aku mendekati mereka. Dan aku akan mengusir ayakashi yang mengganggu mereka. Ada saat-saat di mana aku bisa melihat perasaan orang lain, tapi aku tidak pernah bisa menilai perasaannya. Apa perasaan orang itu benar-benar sangat keras? Aku tidak pernah merasakannya sedikit pun.’

‘Setelah itu, gadis itu selalu berada di sana setiap hari, dengan Reiko yang selalu tidur siang di sampingnya.’

‘Mereka tidak pernah bicara banyak. Setelah satu jam, gadis itu akan membangunkannya, kemudian mereka berpisah.’

‘Lalu pada hari seperti biasanya ...’

“Kau di sini lagi? Yah ... tak apa, bangunkan aku lagi ketika kau pergi,” ucap Reiko sembari menutup matanya untuk tidur siang.

“Hei,” panggil gadis itu tiba-tiba. “Bisakah kau memberitahuku siapa namamu? Namaku Souko. Ditulis dengan kanji ‘biru’ dan ‘anak’. Morinaga Souko. Kalau kau?”

Reiko masih tetap menutup matanya. “Aku tidak perlu memberitahumu siapa namaku,” sahut Reiko.

Souko sedikit terkejut tapi kemudian dia berusaha tersenyum. Reiko sejenak membuka matanya dan berpikir. “Aku ...” ucapnya lantang. Tapi ucapannya terhenti karena perutnya tiba-tiba berbunyi.

“Apa kau lapar? Ah iya, aku punya permen,” ucap Souko sambil mengambil sebuah permen bungkus. Souko tiba-tiba menggenggam erat permen itu. “Bagaimana kalau kita bertanding?”

“Eh?”

“Kalau kau berhasil menang, aku akan memberikan permen ini untukmu. Tapi kalau aku yang memang, maukah kau memberitahukan siapa namamu?”

Reiko sedikit kaget dengan ucapan Souko. “Kau benar-benar gadis yang aneh,” ucapnya. “Baiklah, lagipula aku sedang bosan. Tapi aku tidak berencana untuk kalah.” Akhirnya Reiko menyetujui permintaan Souko.

***



Natsume memegang Yuujinchou di pangkuannya sembari mendengar cerita mengenai neneknya itu.

***



“Baiklah, bagaimana kalau kita masing-masing melempar batu dari sini ke arah bongkahan segitiga yang ada di batu besar itu? Yang melemparnya paling dekat, dialah yang menang.”

“Baiklah,” setuju Reiko.

Souko kemudian melemper batunya ke arah bongkahan itu. “Ini dia, hiyaa ...,” teriaknya sembari melempar batunya. “Oh tidak, aku bahkan tidak berhasil mengenai batu besarnya,” desah Souko kecewa saat batu lemparannya melewati atas batu besar itu.

“Haha ... giliranku,” ucap Reiko. Ia kemudian melempar batunya dan tepat mengenai bongkahan berbentuk segitiga itu.

“Ah, hebatnya,” kagum Souko.

Reiko tertawa kecil kemudian menoleh ke arah Souko. “Haha ... sepertinya akulah yang menang.”

“Baiklah, ini permennya.”

“Terima kasih,” ucap Reiko kemudian menerima permen dari Souko. “Ah, permen ini berwarna biru.”

“Cantik, kan?”

Reiko menatap permen biru berbentuk bulat di tangannya itu. “Ya, seperti ‘biru’ dari Souko.”

Souko tersenyum mendengarnya. Reiko tertegun melihat senyum gadis di hadapannya. Ia kemudian segera memakan permen di tangannya. “Ini enak, sampai jumpa ya,” ucap Reiko berniat pergi.

“Ehh!” pekik Souko. “Aku tidak akan kalah besok, jadi sebaiknya kau bersiap-siap.”

“Eh? Tu-tunggu!” balas Reiko. Tapi sayangnya Souko sudah lebih dulu berlari pergi. Meninggalkan Reiko sendirian dengan yokai besar yang masih setia mengamati mereka dari semak-semak.

‘Setelah itu, Souko datang setiap hari untuk menantang Reiko. Menantangnya bermain suit, kartu, memukul target, shogi. Tapi anehnya dia selalu dikalahkan dalam permainannya sendiri dan Reiko malah terlihat bersenang-senang.’

“Baiklah, orang yang pertama kali sampai di pohon itu adalah pemenangnya,” ucap Souko. “Siap, mulai!”

Kedua gadis itu kemudian berlari bersama-sama menuju pohon target.

“Ah!”




“Haha ... aku menang. Tapi ternyata kau cepat juga,” ucap Reiko masih dengan menyentuh batang pohon.

Sedangkan Souko terlihat kehabisan napas. “Sayang sekali. Andai saja aku berlari lebih cepat.”

Melihat Souko yang kehabisan napas, Reiko menjadi khawatir. “Kau tidak apa-apa? Kau terlihat tidak baik.”

“Aku tidak apa-apa. Ini selalu terjadi dan aku selalu baik-baik saja. Aku benar-benar putus asa dan dan mencoba terlalu keras. Aku hanya perlu menarik napasku,” sahut Souko.

“Aku sudah melakukan berbagai macam pertandingan denganmu selama beberapa hari ini. Kau sebenarnya tidak memiliki tubuh yang kuat kan? Apa daerah pedesaan ini membuatmu kesulitan untuk memulihkan kesehatanmu?” tanya Reiko. “Akan sangat mengganggu jika kau melakukannya secara berlebihan.”

“Maafkan aku, aku tidak bermaksud ... ah, maafkan aku,” balas Souko masih sambil mengatur napasnya.

“Itu sudah tidak apa-apa sekarang. Beristirahatlah sebentar, hari ini aku yang akan membangunkanmu,” putus Reiko.




Souko mengikuti saran Reiko dan mengistirahatkan tubuhnya di sebelah Reiko. “Terima kasih. Karena aku bermain denganmu seperti ini, aku benar-benar merasa senang. Akhir-akhir ini aku sudah mulai terbiasa dengan rumah baruku. Aku bahkan mulai bisa berbicara dengan teman-teman sekelasku. Dan sekarang aku sedang penasaran dengan bunga yang akan tumbuh di kebun rumahku. Aku harap bunga itu indah. Kalau kau mau, kapan-kapan ... kau bisa bermain denganku di kebun rumahku,” cerita Souko panjang lebar kemudian menutup matanya untuk tidur sebentar.




Sedangkan Reiko hanya mendengarkan ucapan Souko dalam diam. Ia tidak tersenyum dan hanya berwajah datar, wajah yang menyimpan banyak makna di dalamnya. Kemudian ia ikut berbaring di sebelah Souko.

Ia melirik sekilas ke arah Souko. “Bunga?” ucapnya. “Di dalam hutan ini, ada ladang bunga yang indah. Suatu saat ...,” ucap Reiko menerawang.

‘Suara bising menutupi ucapan manusia itu. Aku tinggal di hutan ini sejak lama, tapi aku tidak pernah mendengar ada ladang bunga. Mungkin dia menemukannya saat ia sedang menghindari ayakashi. Dan menemukan tempat tersembunyi atau sejenisnya.’

‘Entah ada di mana, tapi tempat itu ada di hutan ini. Aku memikirkannya dan anehnya aku menjadi tertarik. Kira-kira bunga apa yang tumbuh di sana. Bunga yang suatu saat nanti tumbuh di kebun Souko. Bunga yang tumbuh di ladang rahasia Reiko. Kira-kira seperti apa ...’

***




“Ah ya, jadi perasaan manusia itu sangat keras sehingga aku tidak bisa membacanya,” ucap yokai berbulu lebat itu. “Tapi terkadang aku melihat perasaan Souko. Karena kondisinya yang buruk, dia takut kalau dia akan membuat keluarganya dan orang-orang di sekitarnya menjadi murung. Jadi dia mencari tempat di mana dia bisa menyendiri. Tapi ketika dia bertemu gadis lain, dia merasa sangat senang. Dan bagaimana pun caranya dia ingin menjadi temannya. Dia ingin tahu nama gadis itu. Saat itu, Souko benar-benar menyukai gadis itu,” jelas yokai itu panjang lebar.

Natsume hanya menatapnya dalam diam dan terus mendengarkan ceritanya.

“Ah, apa itu mengganggumu kalau aku bisa membaca perasaan ketika kuingin?” tanya yokai itu.

“Tidak,” sahut Natsume. “Maafkan aku,” lanjut Natsume.

Yokai itu hanya terdiam dan terlihat sedikit heran.

“Hal yang bisa kulihat ... apakah buruk jika hal itu kukatakan atau malah buruk saat tidak dikatakan?” tanya Natsume.

Yokai itu tidak menjawab. Ia malah melanjutkan ceritanya mengenai Reiko. “Perlahan, pertandingan itu berlanjut selama beberapa hari berikutnya.”

‘Kemudian suatu hari ...’

***



“Akhir-akhir ini aku bertemu seseorang yang bisa aku ajak berbicara di sekolah. Kita berbicara mengenai legenda daerah dan cerita hantu yang menarik,” ucap Souko suatu hari.

“Hehh ...” tanggap Reiko tersenyum.

“Seperti tengkorak yang ada di rawa-rawa atau mengenai setan raksasa di Shihoudani,” lanjut Souko.

“Hehh ...” Reiko masih terus tersenyum mendengar cerita Souko.

“Ah iya, ada juga rumor begini, mengenai gadis aneh dan kasar di kota sebelah dan aku sebaiknya tidak pergi ke sana.”

“Hehh ...” Dan detik itu hilanglah senyum di wajah Reiko.

***

Yak, bersambung di chapter selanjutnya deh hehe... Seperti biasa, terima kasih banyak untuk EimiJ7 atas translasi Bahasa Inggrisnya ^^

0 comments:

Post a Comment

 

My Rosemary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review