Pengarang:
Midorikawa Yuki
Majalah:
Lala
Penerbit:
Hakusensha
Bulan
Terbit: Mei 2017
‘Aku melihat bunga yang sangat
indah ...’
‘Aku terkadang
terpengaruhi oleh perasaan makhluk lain di sekitarku. Saat itu, mereka tidak
perlu khawatir mengenai apapun. Tapi, saat itu ... saat itu ...’
***
“Aku
pergi dulu,” ucap Natsume saat meninggalkan rumah diikuti dengan Nyanko-sensei.
“Jadi
ada setan raksasa di Shihoudani?” tanya Nyanko-sensei.
“Aa
... Chukyuu yang mengatakannya,” sahut Natsume.
“Dia
selalu bersembunyi di dalam hutan. Akhir-akhir ini, sepertinya yokai kuat
sepertinya sering menampakkan diri. Itu karena nama mereka ada di dalam
Yuujinchou dan mereka mendengar rumor tentangku,” jelas Natsume sambil terus
berjalan. “Kalau mereka memang menginginkan nama mereka kembali, seharusnya
mereka keluar dari persembunyiannya.”
Nyanko-sensei
yang berjalan di depan Natsume membalas, “Lalu kenapa kau susah-susah ke sini
untuk mengembalikannya? Konyol sekali!”
“Kita
juga sama saja. Kita bahkan tidak pernah melewati jalan ini. Mungkin saja ada toko
jajanan manis di sekitar sini,” ucap Natsume.
“Sebaiknya
kau jangan pernah berpikir kalau aku akan selalu menerima penjelasan tidak
jelas seperti itu terus menerus,” balas Nyanko-sensei kesal.
Tak
jauh dari tempat mereka berdiri, terdapat sebuah sungai. Mata Natsume tanpa
sengaja melihat ikan yang berenang di sana. “Ah, salmon.”
Ucapan
Natsume menarik perhatian Nyanko-sensei. “Huh? Di mana?”
Karena
kekesalan Nyanko-sensei sudah menghilang, Natsume kembali berbicara. “Aku ingin
tahu apa Reiko-san juga pernah datang ke tempat ini. Karena aku memiliki
kesempatan seperti ini, aku ingin mengembalikan nama ayakashi yang ada di sini
sebanyak yang aku bisa.”
Tiba-tiba
saja terdengar suara berisik dari arah belakang Natsume. “Di tempat ini, hanya
namaku satu-satunya yang tertulis di sana.”
Natsume
dan Nyanko-sensei segera menoleh ke arah belakang dan mendapati satu yokai yang
berdiam diri di atas dahan pohon. Beberapa saat kemudian, yokai itu turun dan
menghampiri Natsume.
“Kau
pasti cucunya Reiko, kan?” tanya yokai tersebut. “Maukah kau mengembalikan
namaku?”
“Iya,”
sahut Natsume sedikit takut. Natsume kemudian mengeluarkan Yuujinchou dari
dalam tasnya. “Aku akan mencari namamu di Yuujinchou sekarang.”
Saat
Natsume akan mengucapkan mantra, yokai itu kembali berbicara. “Kau tidak perlu
mencarinya. Aku tahu namaku berada di halaman berapa.”
“Eh?”
“Halaman
pertama,” ucap yokai tersebut yang seketika membuat Natsume sedikit kaget.
“Halaman
pertama?” ulang Natsume.
‘Jadi itu artinya ... dia adalah
ayakashi pertama yang namanya diambil oleh Reiko-san.’
“Aku
akan mengembalikan namamu,” ucap Natsume pasti. “Tapi bolehkah aku menanyakan
sesuatu? Tentang Natsume Reiko-san?” tambah Natsume.
‘Aku ingin tahu yokai ini jenis
yang mana ... jenis yang dikalahkan Reiko-san dan namanya diambil paksa ...
atau yang lain?’
Yokai
itu memandang Natsume sejenak. “Baiklah, lagipula aku juga sedang bosan. Memang
hanya sebentar tapi aku akan menceritakan saat Reiko pertama kali datang ke
hutan ini.”
Yokai
itu kemudian mendekati Natsume dan menunjuknya. “Apa yang akan aku lakukan jika
dia adalah yokai jahat?” Sekarang yokai itu menunjuk Nyanko-sensei. “Ah,
benar-benar menyusahkan.”
Perkataan
yokai itu membuat Natsume dan Nyanko-sensei terheran-heran. Rasanya yokai ini
mampu membaca isi pikiran mereka.
“Walau
hanya sebentar, terkadang aku bisa membaca perasaan dari lawan bicaraku.
Haruskah aku mengatakan kapan aku pertama kali bisa melakukannya?” tanya yokai
itu.
“Aku
tidak tahu, tapi aku merasa kalau semua itu terlalu menyusahkan untuk dihadapi,”
sahut Nyanko-sensei kesal.
“Itu
memang menyusahkan, karena itulah aku memilih berdiam diri di dalam hutan,”
balas yokai tersebut. “Itu semua terjadi saat manusia ... saat Natsume Reiko
datang kemari.”
Akhirnya
dimulailah cerita yokai itu mengenai Reiko yang dulu pernah datang ke hutan
itu.
***
“Hei,
apa kau pernah mendengarnya? Akhir-akhir ini ada manusia yang berkeliaran di
hutan ini,” ucap seorang yokai pada temannya. “Tuan besar di gua itu pernah
mengolok-ngoloknya dan mengganggunya. Tapi dia hanya menari menjauh seperti
kupu-kupu sehingga lawannya tidak pernah bisa menangkapnya.”
“Bagi
Tuan Besar yang sangat kuat, manusia itu pasti terlihat seperti manusia
sombong. Yahh ... kalau kita melihatnya sekilas, haruskah kita mengganggunya?”
ucap yokai yang lain.
Tak
jauh dari kedua yokai tersebut, ada yokai lain yang sejak tadi berdiam diri di
dahan pohon sambil mendengarkan pembicaraan mereka. “Hei, kalian yang di sana.
Sejak tadi kalian terus saja ribut,” ucapnya. “Kalau kau terus berbicara, aku
akan memakanmu,” ancamnya sambil menjulurkan lidahnya sehingga membuat kedua
yokai itu ketakutan.
“Eeh?
Ahh! Tolong kami!!” teriak kedua yokai itu kemudian lari menjauh.
‘Aku suka tinggal di tempat yang
sepi, jadi aku akan mengusir ayakashi yang berada dekat dengan daerahku. Waktu
berlalu begitu saja ... rasanya tenang dan menyenangkan.’
Suatu
hari yokai itu pergi berjalan dan meninggalkan rumahnya. Merasa sudah terlalu lama
berjalan, akhirnya ia memilih kembali. “Ini waktunya aku kembali ke rumah untuk
beristirahat.”
‘Itulah saat ...’
Yokai
itu berhenti dan menatap seseorang yang sedang tertidur di dekat pohonnya.
Karena
merasa diperhatikan akhirnya Reiko terbangun. “Hmm ...,” gumamnya. “Padahal
akhirnya aku menemukan tempat yang nyaman untuk tidur ... apa tempat ini adalah
milikmu?”
“Ya,”
sahut yokai tersebut.
“Maaf,
kalau begitu aku tidak akan datang lagi ke dekat pohon ini,” ucap Reiko segera
bangkit. “Selamat tinggal.” Reiko segera pergi sambil melambaikan tangan.
Sedangkan
yokai itu hanya bisa menatap heran Reiko. “Ah? Eh?” Matanya masih terus
memperhatikan Reiko yang berlari pergi. ‘Apa
dia itu manusia? Dia bertingkah seperti seekor kucing.’
‘Setelah itu, aku terkadang melihat
manusia itu di sekitar hutan. Dia bisa dengan mudah menghindari ayakashi yang
datang untuk mengejeknya. Dan dia selalu sendiri ... sama sepertiku.’
‘Sendirian itu memang nyaman ...
manusia itu pasti memahami hal itu.’
Beberapa
hari kemudian, yokai itu kemudian mendengar pembicaraan dua yokai kecil dari
balik semak-semak.
“Hei,
aku dengar ada manusia yang datang ke Ishizuka barat,” ucap salah satu yokai.
“Lagi?
Ya sudah ayo kita lihat,” ajak yokai yang lain.
Yokai
besar yang mendengarkan pembicaraan itu hanya terdiam. ‘Ishizuka barat? Haruskah aku pergi dan melihatnya?’ tanyanya pada
dirinya sendiri.
Pada
akhirnya yokai besar itu pergi dan mengikuti dua yokai kecil tadi. Dari
semak-semak, mereka dapat melihat manusia yang sedang duduk di tangga batu
sambil membaca buku.
‘Huh? Itu bukan manusia yang
biasanya,’ pikir yokai besar itu.
“Hei,
apa dia yang selalu digosipkan itu?” tanya yokai kecil pada temannya.
Temannya
kelihatan berpikir. “Tidak, aku yakin kalau dia itu lebih ...”
Ucapan
yokai itu terhenti karena ada manusia lain yang datang ke arah manusia yang
sedang membaca itu. “Hei, kau!” panggilnya. “Aku merasa kalau di sekitar sini
sangat ribut, karena itu aku kesini. Apa yang kau lakukan di hutan ini?” tanya
manusia yang tak lain adalah Reiko.
Perempuan
di hadapan Reiko itu sedikit kaget. “Etto ... maafkan aku. Aku hanya sedang
membaca, aku tidak bermaksud membuat keributan hmm ....”
“Tidak,
bukan kau yang membuat keributan,” balas Reiko. “Aku juga minta maaf. Tapi kau
seharusnya tidak berkeliaran sendirian di hutan ini. Bangun dan cepatlah
pulang,” tambah Reiko. “Selamat tinggal.” Reiko kemudian berbalik pergi.
“A-ah
... tu-tunggu!” ucap gadis itu sambil menarik lengan Reiko.
“Apa?
Apa kau tidak tahu jalan pulang?” tanya Reiko menoleh.
“Tidak
... tapi ... jika kau mau, bisakah kita bicara sebentar?” tanya gadis itu. “Aku
baru saja pindah di sekitar sini, aku tidak punya siapapun untuk diajak
berbicara.”
Reiko
tersenyum menatap gadis itu. “Tidak bisa, sekarang pulanglah,” ucapnya kemudian
pergi.
“Ah
iya, maaf,” balas gadis itu sambil berusaha tersenyum sambil melihat Reiko yang
berjalan pergi. Tiba-tiba saja ia melihat ke bawah dan menyadari ada sesuatu di
atas rumput yang ia pijak. Gadis itu kemudian mengambil benda itu. Semua
kejadian ini terus disaksikan oleh yokai besar putih dari balik semak-semak.
***
“Benar-benar
tidak bisa didekati,” komentar Nyanko-sensei di tengah-tengah cerita.
“Aku
juga bepikir seperti itu,” tanggap yokai besar itu. “Tapi manusia yang lagi
satu itu datang kembali keesokannya,” ucapnya sembari melanjutkan ceritanya.
***
“Hei,
kau!” panggil Reiko sambil berkacak pinggang. “Aku pikir mereka sedang membuat
kehebohan. Kenapa kau kembali lagi?”
Gadis
itu sedikit terkejut dan membalik badannya menghadap Reiko. “Ah bagus, kau di
sini,” ucapnya. “Maaf, tapi aku ingin memberikan ini padamu,” tambah gadis itu
sambil menyerahkan sesuatu yang ia pungut kemarin.
“Lambang
sekolah?” ucap Reiko saat melihatnya. Ia kemudian menarik kerah seragamnya dan
melihat kalau lambang sekolahnya tidak ada. “Ternyata kau orang yang baik. Kau
sengaja datang kemari padahal itu belum tentu milikku. Tapi terima kasih
banyak, kau sangat membantu.”
Setelah
Reiko menerima lambang sekolahnya, ia segera pergi. “Sampai jumpa.”
“Ah
iya, sampai jumpa,” balas gadis itu.
‘Kemudian mereka berpisah dan
keesokan harinya ...’
Yokai
besar berbulu putih itu mendatangi Reiko yang sedang duduk sendiri di atas
bukit. “Hei, orang itu datang lagi ke sini,” ucapnya pada Reiko.
Reiko
membalik badannya saat mendengar suara dari belakangnya. Saat ia membalik
tubuhnya, yokai itu segera bersembunyi di balik semak-semak. ‘Apa yang sudah aku lakukan?’ pikirnya.
Sedangkan
Reiko terdiam sejenak sembari berpikir. Akhirnya ia pergi ke tangga batu itu
lagi dan mendapati gadis itu sedang membaca buku dengan beberapa yokai kecil
yang berada di sekitarnya.
“Apa
yang kau lakukan?” tanya Reiko.
Gadis
itu menoleh. “Ah, maaf. Aku masih belum terbiasa dengan rumah baruku. Sebelum
ada orang yang pulang, aku ingin menghabiskan waktu di sini,” ucap gadis itu.
“Aku belum terlalu dikenal dengan anak-anak di sekolahku sekarang. Jadi aku
mencari tempat di mana aku bisa menghabiskan waktu satu jam atau lebih tanpa
harus bertemu siapapun. Di sini tempat yang bagus dan cerah ... jadi ...
maafkan aku.”
Reiko
menatap gadis itu sebentar. “Kau tidak perlu meminta maaf. Ini bukan hutanku.
Sebenarnya aku lebih seperti pengganggu di hutan ini,” ucapnya kemudian duduk
di sebelah gadis itu.
“Eh?”
“Aku
juga sangat menyukai hutan ini. Satu jam? Aku akan tidur siang di sini, maukah
kau membangunkanku ketika kau pergi?” tanya Reiko. “Oyasumi.”
Gadis
itu tersenyum. “Terima kasih,” ucapnya.
Dari
balik semak-semak, yokai besar itu kembali memperhatikan tingkah dua manusia
itu.
‘Aku menjadi tertarik dengan dua
orang manusia itu. Jadi aku mendekati mereka. Dan aku akan mengusir ayakashi
yang mengganggu mereka. Ada saat-saat di mana aku bisa melihat perasaan orang
lain, tapi aku tidak pernah bisa menilai perasaannya. Apa perasaan orang itu
benar-benar sangat keras? Aku tidak pernah merasakannya sedikit pun.’
‘Setelah itu, gadis itu selalu
berada di sana setiap hari, dengan Reiko yang selalu tidur siang di
sampingnya.’
‘Mereka tidak pernah bicara banyak.
Setelah satu jam, gadis itu akan membangunkannya, kemudian mereka berpisah.’
‘Lalu pada hari seperti biasanya
...’
“Kau
di sini lagi? Yah ... tak apa, bangunkan aku lagi ketika kau pergi,” ucap Reiko
sembari menutup matanya untuk tidur siang.
“Hei,”
panggil gadis itu tiba-tiba. “Bisakah kau memberitahuku siapa namamu? Namaku
Souko. Ditulis dengan kanji ‘biru’ dan ‘anak’. Morinaga Souko. Kalau kau?”
Reiko
masih tetap menutup matanya. “Aku tidak perlu memberitahumu siapa namaku,”
sahut Reiko.
Souko
sedikit terkejut tapi kemudian dia berusaha tersenyum. Reiko sejenak membuka
matanya dan berpikir. “Aku ...” ucapnya lantang. Tapi ucapannya terhenti karena
perutnya tiba-tiba berbunyi.
“Apa
kau lapar? Ah iya, aku punya permen,” ucap Souko sambil mengambil sebuah permen
bungkus. Souko tiba-tiba menggenggam erat permen itu. “Bagaimana kalau kita
bertanding?”
“Eh?”
“Kalau
kau berhasil menang, aku akan memberikan permen ini untukmu. Tapi kalau aku
yang memang, maukah kau memberitahukan siapa namamu?”
Reiko
sedikit kaget dengan ucapan Souko. “Kau benar-benar gadis yang aneh,” ucapnya.
“Baiklah, lagipula aku sedang bosan. Tapi aku tidak berencana untuk kalah.”
Akhirnya Reiko menyetujui permintaan Souko.
***
Natsume
memegang Yuujinchou di pangkuannya sembari mendengar cerita mengenai neneknya
itu.
***
“Baiklah,
bagaimana kalau kita masing-masing melempar batu dari sini ke arah bongkahan
segitiga yang ada di batu besar itu? Yang melemparnya paling dekat, dialah yang
menang.”
“Baiklah,”
setuju Reiko.
Souko
kemudian melemper batunya ke arah bongkahan itu. “Ini dia, hiyaa ...,”
teriaknya sembari melempar batunya. “Oh tidak, aku bahkan tidak berhasil
mengenai batu besarnya,” desah Souko kecewa saat batu lemparannya melewati atas
batu besar itu.
“Haha
... giliranku,” ucap Reiko. Ia kemudian melempar batunya dan tepat mengenai
bongkahan berbentuk segitiga itu.
“Ah,
hebatnya,” kagum Souko.
Reiko
tertawa kecil kemudian menoleh ke arah Souko. “Haha ... sepertinya akulah yang
menang.”
“Baiklah,
ini permennya.”
“Terima
kasih,” ucap Reiko kemudian menerima permen dari Souko. “Ah, permen ini
berwarna biru.”
“Cantik,
kan?”
Reiko
menatap permen biru berbentuk bulat di tangannya itu. “Ya, seperti ‘biru’ dari
Souko.”
Souko
tersenyum mendengarnya. Reiko tertegun melihat senyum gadis di hadapannya. Ia
kemudian segera memakan permen di tangannya. “Ini enak, sampai jumpa ya,” ucap
Reiko berniat pergi.
“Ehh!”
pekik Souko. “Aku tidak akan kalah besok, jadi sebaiknya kau bersiap-siap.”
“Eh?
Tu-tunggu!” balas Reiko. Tapi sayangnya Souko sudah lebih dulu berlari pergi.
Meninggalkan Reiko sendirian dengan yokai besar yang masih setia mengamati
mereka dari semak-semak.
‘Setelah itu, Souko datang setiap
hari untuk menantang Reiko. Menantangnya bermain suit, kartu, memukul target,
shogi. Tapi anehnya dia selalu dikalahkan dalam permainannya sendiri dan Reiko
malah terlihat bersenang-senang.’
“Baiklah,
orang yang pertama kali sampai di pohon itu adalah pemenangnya,” ucap Souko.
“Siap, mulai!”
Kedua
gadis itu kemudian berlari bersama-sama menuju pohon target.
“Ah!”
“Haha
... aku menang. Tapi ternyata kau cepat juga,” ucap Reiko masih dengan
menyentuh batang pohon.
Sedangkan
Souko terlihat kehabisan napas. “Sayang sekali. Andai saja aku berlari lebih
cepat.”
Melihat
Souko yang kehabisan napas, Reiko menjadi khawatir. “Kau tidak apa-apa? Kau
terlihat tidak baik.”
“Aku
tidak apa-apa. Ini selalu terjadi dan aku selalu baik-baik saja. Aku benar-benar
putus asa dan dan mencoba terlalu keras. Aku hanya perlu menarik napasku,”
sahut Souko.
“Aku
sudah melakukan berbagai macam pertandingan denganmu selama beberapa hari ini.
Kau sebenarnya tidak memiliki tubuh yang kuat kan? Apa daerah pedesaan ini
membuatmu kesulitan untuk memulihkan kesehatanmu?” tanya Reiko. “Akan sangat
mengganggu jika kau melakukannya secara berlebihan.”
“Maafkan
aku, aku tidak bermaksud ... ah, maafkan aku,” balas Souko masih sambil
mengatur napasnya.
“Itu
sudah tidak apa-apa sekarang. Beristirahatlah sebentar, hari ini aku yang akan
membangunkanmu,” putus Reiko.
Souko
mengikuti saran Reiko dan mengistirahatkan tubuhnya di sebelah Reiko. “Terima
kasih. Karena aku bermain denganmu seperti ini, aku benar-benar merasa senang. Akhir-akhir
ini aku sudah mulai terbiasa dengan rumah baruku. Aku bahkan mulai bisa
berbicara dengan teman-teman sekelasku. Dan sekarang aku sedang penasaran
dengan bunga yang akan tumbuh di kebun rumahku. Aku harap bunga itu indah.
Kalau kau mau, kapan-kapan ... kau bisa bermain denganku di kebun rumahku,”
cerita Souko panjang lebar kemudian menutup matanya untuk tidur sebentar.
Sedangkan
Reiko hanya mendengarkan ucapan Souko dalam diam. Ia tidak tersenyum dan hanya
berwajah datar, wajah yang menyimpan banyak makna di dalamnya. Kemudian ia ikut
berbaring di sebelah Souko.
Ia
melirik sekilas ke arah Souko. “Bunga?” ucapnya. “Di dalam hutan ini, ada
ladang bunga yang indah. Suatu saat ...,” ucap Reiko menerawang.
‘Suara bising menutupi ucapan manusia
itu. Aku tinggal di hutan ini sejak lama, tapi aku tidak pernah mendengar ada
ladang bunga. Mungkin dia menemukannya saat ia sedang menghindari ayakashi. Dan
menemukan tempat tersembunyi atau sejenisnya.’
‘Entah ada di mana, tapi tempat itu
ada di hutan ini. Aku memikirkannya dan anehnya aku menjadi tertarik. Kira-kira
bunga apa yang tumbuh di sana. Bunga yang suatu saat nanti tumbuh di kebun
Souko. Bunga yang tumbuh di ladang rahasia Reiko. Kira-kira seperti apa ...’
***
“Ah
ya, jadi perasaan manusia itu sangat keras sehingga aku tidak bisa membacanya,”
ucap yokai berbulu lebat itu. “Tapi terkadang aku melihat perasaan Souko.
Karena kondisinya yang buruk, dia takut kalau dia akan membuat keluarganya dan
orang-orang di sekitarnya menjadi murung. Jadi dia mencari tempat di mana dia
bisa menyendiri. Tapi ketika dia bertemu gadis lain, dia merasa sangat senang.
Dan bagaimana pun caranya dia ingin menjadi temannya. Dia ingin tahu nama gadis
itu. Saat itu, Souko benar-benar menyukai gadis itu,” jelas yokai itu panjang
lebar.
Natsume
hanya menatapnya dalam diam dan terus mendengarkan ceritanya.
“Ah,
apa itu mengganggumu kalau aku bisa membaca perasaan ketika kuingin?” tanya
yokai itu.
“Tidak,”
sahut Natsume. “Maafkan aku,” lanjut Natsume.
Yokai
itu hanya terdiam dan terlihat sedikit heran.
“Hal
yang bisa kulihat ... apakah buruk jika hal itu kukatakan atau malah buruk saat
tidak dikatakan?” tanya Natsume.
Yokai
itu tidak menjawab. Ia malah melanjutkan ceritanya mengenai Reiko. “Perlahan,
pertandingan itu berlanjut selama beberapa hari berikutnya.”
‘Kemudian suatu hari ...’
***
“Akhir-akhir
ini aku bertemu seseorang yang bisa aku ajak berbicara di sekolah. Kita
berbicara mengenai legenda daerah dan cerita hantu yang menarik,” ucap Souko
suatu hari.
“Hehh
...” tanggap Reiko tersenyum.
“Seperti
tengkorak yang ada di rawa-rawa atau mengenai setan raksasa di Shihoudani,”
lanjut Souko.
“Hehh
...” Reiko masih terus tersenyum mendengar cerita Souko.
“Ah
iya, ada juga rumor begini, mengenai gadis aneh dan kasar di kota sebelah dan
aku sebaiknya tidak pergi ke sana.”
“Hehh
...” Dan detik itu hilanglah senyum di wajah Reiko.
***
Yak,
bersambung di chapter selanjutnya deh hehe... Seperti biasa, terima kasih banyak
untuk EimiJ7 atas translasi Bahasa Inggrisnya ^^
0 comments:
Post a Comment