3 Mar 2014

Panggil Aku Risa

Posted by Unknown at 18:16
"Ris, jangan ngelamun terus. Makan dulu."

Aku sempat terdiam saat ibu memanggil namaku. Mereka bilang namaku Risa. Mahasiswi tahun akhir di fakultas ekonomi. Anak kedua dari dua bersaudara. Tapi aku benar-benar tidak bisa mencari semua penjelasan tentang diriku tersebut di dalam otakku.

Dokter bilang aku mengalami gegar otak ringan karena kecelakaan sebulan yang lalu. Aku berhasil selamat tapi Rina tidak. Kata orang tuaku, Rina adalah kakakku dan juga saudara kembarku. Kami kembar identik.

Walau kembar, kami berbeda. Rina adalah gadis pendiam yang lebih suka mengurung diri di kamar dengan berbagai macam cerita yang ia buat. Ibu bilang, Rina adalah seorang penulis di umurnya yang masih muda. Sedangkan Risa adalah gadis ceria yang lebih suka keluar dengan teman-temannya.

Sekali lagi, itu adalah hal yang ibuku katakan. Dan mereka bilang aku adalah Risa karena kalung berliontin Risa ada di leherku. Tapi aku benar-benar tak ingat kalau dulu aku dipanggil Risa.

"Sebentar lagi, kamu juga pasti ingat semuanya," kata ayahku. Aku tersenyum dan mulai menyuap makananku. "Diingatnya pelan-pelan saja," lanjut ayahku.

"Kamu ke kampus hari ini bareng sama Eka, kan?"

Aku mengangguk pelan. "Iya, Bu. Kak Eka yang minta," sahutku.

Laki-laki berkacamata yang merupakan seorang arsitek itu bernama Eka. Begitu aku menyelesaikan sarapanku, dia sudah berada di depan rumahku. Dia menyapaku ramah dan segera merangkul pundakku.

"Kami berangkat dulu." Dia berpamitan kepada orang tuaku. Sedangkan aku hanya bisa mengikutinya karena ia menarik lembut kedua pundakku.

"Jangan malu-malu, Ris," ucapnya saat aku sudah ada di dalam mobilnya. "Aku ini tunanganmu. Nanti kalau kamu sudah ingat semuanya, aku berniat melamarmu. Gak apa-apa, kan?" tanyanya sambil tersenyum ke arahku.

Aku terpaku sejenak saat menatapnya kemudian mengangguk pelan. "Iya." Berikutnya, aku dapat merasakan tangannya yang mengelus lembut rambutku.

Aku benar-benar tidak bisa percaya kalau memiliki tunangan sebaik ini. Karena aku tidak memiliki ingatan tentangnya sedikit pun di dalam kepalaku.

****

Akhirnya aku sampai di depan kampusku. Kak Eka janji mau menjemputku setelah kuliah selesai. Dia bahkan sempat mencium dahiku sebelum aku keluar dari mobilnya. Dia terlihat biasa melakukan hal itu tapi aku begitu canggung. Kalau Risa yang dulu akan bersikap seperti apa?

"RISA!"

Aku segera menengok saat seseorang memeluk pundakku dari belakang.

"Kamu Risa, kan? Ya ampun, aku pikir kamu gak bakal masuk kuliah lagi," orang itu tertawa pelan. Aku tidak tahu siapa dia. Dia perempuan tinggi berambut pendek dengan gaya yang sedikit tomboi. Matanya mengecil saat tertawa. Lucu sekali.

"Kamu siapa?"

Gadis itu menepuk dahinya kemudian. "Aduh, bodohnya aku. Aku dengar kamu lupa ingatan ya? Tapi bukannya ringan ya? Masa kamu gak inget sama aku?" tanyanya bertubi-tubi.

Aku mengangguk.

"Namaku Pratiwi," sahutnya. Aku sempat tertegun saat ia mengucapkan namanya. Namanya terdengar sangat feminim, berbanding terbalik dengan perawakannya yang sangat tomboi. "Oh iya, gimana kalo kita ke kantin dulu, nanti aku kenalin semua anak-anak angkatan kita ke kamu. Biar ingatanmu bisa kembali lagi ya?"

"Boleh, makasih banyak, Pratiwi."

Dia merangkul pundakku cepat. "Ya ampun, panggil Tiwi aja kali. Kayak biasanya." Dia tertawa lagi. Gadis ini benar-benar periang dan sangat lucu menurutku. Apa Risa yang dulu memiliki teman seperti ini?

****

"Gimana kuliahnya?" Kak Eka sudah berdiri di tempat parkir saat aku baru saja mau meneleponnya.

"Hm, lumayan," sahutku.

Aku melirik jam tanganku saat aku dan Kak Eka sudah di dalam mobil. Sudah jam tiga sore. Kak Eka juga sudah menyalakan mesim mobil. "Mau makan dulu?" tawarnya.

"Hmm ... Kak, bisa anterin aku ke makam Rina sebentar? Aku belum pernah ke sana," ucapku tiba-tiba. Aku dapat melihat ekspresi kaget dari wajah Kak Eka walau sekilas. Dia kemudian tersenyum lembut dan mengacak-ngacak rambutku.

"Iya, aku anterin kok," jawabnya. Aku lihat dia mulai memutar di parkiran dan keluar dari kawasan kampusku. "Aku lupa kalau kamu belum ke sana sepulang dari rumah sakit."

Kak Eka memutar lagu-lagu yang bernuansa lembut di dalam mobilnya. Aku benar-benar merasa nyaman di sini. Kuliah tadi benar-benar melelahkan dengan segala pelajaran yang bahkan tidak terlalu kumengerti. Aku heran, kenapa Risa yang dulu begitu suka dengan pelajaran seperti itu?

Aku menutup mataku dan bersandar di kursi. Dan ingatan itu kembali lagi. Saat itu, aku duduk di kursi penumpang seperti ini. Aku dan saudaraku berniat pergi ke toko buku saat itu, bahkan kami sengaja memakai baju yang sama karena kami jarang keluar berdua.

Suasana saat itu benar-benar menyenangkan. Sampai akhirnya, ada sebuah truk besar yang melaju ke arah kami. Kami benar-benar panik dan beberapa saat kemudian yang aku rasakan adalah sakit yang mendera seluruh tubuhnya. Aku menoleh ke kursi pengemudi. Saudaraku penuh dengan darah, aku bahkan dapat merasakan nyawanya sedang berada dalam bahaya.

Ingin rasanya aku berteriak tapi aku tidak bisa karena semua sakit pada tubuhku. Hal yang terakhir yang kuingat adalah permintaan terakhir dari saudara kembarku itu.

"Ayo turun, Ris."

Aku segera membuka mataku saat Kak Eka mengguncang pelan bahuku.

"Ketiduran ya?" tanyanya kemudian membantuku melepas sabuk pengamanku.

"Enggak kok," sahutku. "Cuma tutup mata aja."

Seakan tak percaya, dia menyentil dahiku. "Iya, iya. Kamu selalu aja kayak gitu. Pacarnya dibiarin nyetir sendiri, gak ada yang diajak ngobrol."

"Bener kok, aku gak tidur," balasku sewot.

Kak Eka kemudian tertawa. "Aku kangen sekali sama wajahmu yang ini. Marah tapi ngegemesin." Aku hanya bisa ikut tertawa dan sejenak melupakan kenangan buruk yang terjadi kepadaku dan saudaraku.

Kami sampai di kompleks pemakaman. Kak Eka membawaku semakin ke dalam dan berhenti tepat di depan sebuah makam dengan nisan yang bertuliskan nama lengkap Rina di sana. Aku tertegun sejenak saat memandangnya. Aku bahkan tak bisa menahan air mataku yang keluar begitu saja dari mataku.

Sebenarnya aku sudah ingat dengan semua hal di dunia ini semenjak seminggu yang lalu. Tapi aku tidak mengatakannya kepada siapa pun karena aku harus memenuhi permintaan terakhir saudaraku yang terkubur di sana.

"To-tolong aku. Ka-kamu harus jadi aku. Bu-buat ibu, ayah, dan kak E-Eka bahagia. A-aku yakin kamu bisa, Rina. Aku mohon."

Aku hanya bisa terdiam saat itu, bahkan tanpa sadar aku segera menukar kalung yang kami kenakan.

Sudah kukatakan sebelumnya, aku tak memiliki kenangan sebagai Risa. Karena sejak awal, aku adalah Rina. Nama yang mati di atas makam di sana.



Selesai

Satu cerpen dari saya untuk hari ini :) Pendek ya ceritanya? Niat awal saya, pengen buat twist yang gak ketebak aja dengan sebuah cerita yang sangat klise, tapi gak tau berhasil apa enggak hehe XD menurut kalian gimana??

1 comments:

Sella said...

Terus terang aku sempat merinding waktu baca endingnya. Twistnya dapet sih menurutku.

Keep writing!

Post a Comment

 

My Rosemary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review